Ho no co ro ko
Dho ta sho
wo lo
Po do jo
yo nyo
Mo go bo
tho ngo
Mungkin kita pernah kenal dengan aksara seperti itu, atau
mungkin juga belum pernah mengerti tetang aksara seperti itu.. Itulah yang
dikenal dengan huruf / aksara jawa. Aksara
itu sudah saya salin dengan huruf latin, kalau yang sebenernya bukan kaya gitu,
tapi nanti di akhir cerita akan saya tunjukan.
Aksara jawa lahir sejak jaman legenda Aji Saka, anda pernah
kenal dengan cerita Aji Saka? Atau paling ngga pernah dengar dengan cerita Aji
saka? Wah.. kita ini belum pernah dengar dengan cerita itu, gimana ceritanya
kok kayaknya menarik? Ok kita cerita
sedikit ya..
Pada zaman dahulu di Desa Medang Kawit,
Desa Majethi, Jawa Tengah. Hidup seorang kesatria bernama Ajisaka. Dia seorang
tampan dan memiliki ilmu yang sangat sakti. Ajisaka memiliki dua orang pengawal
yang setia bernama Dora dan Sembada. Mereka berdua setia menemani Ajisaka.
Suatu hari, Ajisaka ingin mengembara mencari ilmu kehidupan dan meninggalkan
Pulau Majethi. Kemudian Ajisaka pun pergi bersama dengan Dora. Sedangkan
Sembada tetap tinggal di Pulau Majethi. Sebelum pergi Ajisaka berpesan kepada
Sembada untuk menjaga keris pusaka Ajisaka dan membawanya ke Pegunungan
Kendeng.
“Sembada! Bawa keris pusaka ini ke Pegunungan Kendeng. Jagalah keris ini baik-baik
dan jangan serahkan kepada orang lain sampai aku datang kembali untuk mengambilnya!”
Aji Saka berpesan kepada Sembada.
“Baik, Tuan! Saya berjanji akan menjaga keris pusaka ini dan tidak akan
memberikan kepada siapapun!” jawab Sembada.
Pada waktu itu di Jawa ada negeri yang terkenal makmur, aman, dan damai, yang
bernama Negeri Medang Kamulan. Negeri itu dipimpin oleh Prabu Dewata Cengkar,
seorang raja yang berbudi luhur dan bijaksana. Ia selalu memberikan yang
terbaik untuk rakyatnya. Sehingga Negeri Medang Kamulan sejahtera. Namun
semuanya berubah bermula ketika sang juru masak kerajaan teriris jarinya saat
memasak. Sehingga potongan kulit dan darahnya pun masuk ke dalam sup yang akan
disuguhkan kepada Sang Raja. Kemudian ia pun menyajikan masakannya kepada Prabu
Dewata Cengkar. Prabu Dewata Cengkar langsung melahap habis sup tersebut ia
merasa sup yang disajikan sangat lezat, kemudian ia mengutus patihnya yaitu
Jugul Muda untuk menanyai juru masak kerajaan. Kemudian sang juru masak berkata
bahwa ia tidak sengaja teriris jarinya menyebabkan kulit dan darahnya tercampur
masuk ke dalam sup yang dihidangkan untuk Prabu Dewata Cengkar.
Setelah kejadian itu Prabu Dewata Cengkar memerintahkan kepada patihnya untuk
menyiapkan seorang rakyatnya untuk disantap setiap harinya. Sejak itulah sang
Prabu menjadi senang makan daging dan darah manusia dan sifatnya pun berubah
menjadi bengis, jahat dan senang melihat orang menderita. Negeri Medang Kamulan
pun perlahan berubah menjadi negeri yang sepi karena satu per satu rakyatnya
disantap oleh rajanya, namun ada juga rakyat yang pergi mengungsi ke daerah
lain.
Ajisaka bersama Dora saat itu tiba di Hutan yang sangat lebat. Ketika akan
melintasi hutan tersebut, tiba-tiba Aji Saka mendengar teriakan seorang
laki-laki meminta tolong.
“Tolong... Tolong...!
Mendengar teriakan itu, Aji Saka dan Dora segera menuju ke sumber suara
tersebut. Tak lama kemudian, mereka mendapati seorang laki-laki paruh baya
sedang dipukuli oleh dua orang perampok.
“Hei, hentikan!” seru Aji Saka.
Kedua perampok itu tidak menghiraukan teriakan Aji Saka. Mereka tetap memukuli
laki-laki itu. Melihat tindakan kedua perampok tersebut, Aji Saka pun jadi marah, Dan dengan secepat kilat, ia melayangkan sebuah tendangan keras ke kepala
kedua perampok tersebut hingga tersungkur ke tanah dan tidak sadarkan diri.
Setelah itu, ia dan abdinya segera menghampiri laki-laki itu.
“Maaf, Kisanak! Kalau boleh kami tahu, kisanak ini dari mana dan kenapa berada
di tengah hutan ini?” tanya Aji Saka.
Lelaki paruh baya itu pun bercerita bahwa dia seorang pengungsi dari Negeri
Medang Kamulan. Ia mengungsi karena raja di negerinya yang bernama Prabu Dewata
Cengkar setiap hari mengincar rakyatnya untuk di hidangkan. Karena takut
menjadi mangsa sang Raja, lelaki itu kabur dari negeri itu.
Aji Saka dan Dora tersentak kaget mendengar cerita laki-laki tua yang baru saja
ditolongnya itu.
“Bagaimana itu bisa terjadi?” tanya Aji Saka dengan heran.
“Begini, Tuan! Kegemaran Prabu Dewata Cengkar memakan daging manusia bermula
ketika seorang juru masak istana teriris jarinya, lalu potongan kulit jari dan
darahnya itu masuk ke dalam sup yang disajikan untuk sang Prabu. Rupanya,
beliau sangat menyukainya. Sejak itulah sang Prabu menjadi senang makan daging
manusia dan sifatnya pun berubah menjadi bengis,” jelas lelaki itu.
Mendengar pejelasan itu, Aji Saka dan abdinya memutuskan untuk pergi ke Negeri
Medang Kamulan. Ia ingin menolong rakyat Medang Kamulan dari kebengisan Prabu
Dewata Cengkar. Setelah sehari semalam berjalan keluar masuk hutan,
menyebarangi sungai, serta menaiki dan menuruni bukit, akhirnya mereka sampai
di Kerajaan Medang Kamulan. Ajisaka pun melihat keadaan negeri Medang Kamulan
yang sunyi dan menyeramkan itu. Semua penduduk pergi meninggalkan negeri itu.
“Apa yang harus kita lakukan, Tuanku?” tanya Dora.
“Kamu tunggu di luar saja! Biarlah aku sendiri yang masuk ke istana menemui Raja
bengis itu,” jawab Aji Saka.
Dengan gagahnya, Aji Saka berjalan menuju ke istana. Suasana di sekitar istana
tampak sepi. Hanya ada beberapa orang pengawal yang sedang mondar-mandir di
depan pintu gerbang istana.
“Berhenti, Anak Muda!” cegat seorang pengawal ketika Aji Saka berada di depan
pintu gerbang istana.
“Kamu siapa dan mau apa kemari?” tanya pengawal itu.
“Saya Aji Saka dari Medang Kawit ingin bertemu dengan Raja,” jawab Aji Saka.
“Hai, Anak Muda! Apakah kamu tidak takut dimangsa sang Prabu?” sahut seorang
pengawal.
“Ketahuilah, Tuan-Tuan! Tujuan saya kemari memang untuk menyerahkan diri saya
kepada sang Prabu untuk dimangsa,” jawab Aji Saka.
Para pengawal istana terkejut mendengar jawaban Aji Saka. Tanpa banyak tanya,
mereka pun mengizinkan Aji Saka masuk ke dalam istana. Saat berada di dalam
istana, ia mendapati Prabu Dewata Cengkar sedang murka, karena Patih Jugul
tidak membawa mangsa untuknya. Tanpa rasa takut sedikit pun, ia langsung
menghadap kepada sang Prabu dan menyerahkan diri untuk dimangsa.
“Ampun, Gusti Prabu! Hamba Aji Saka. Jika Baginda berkenan, hamba siap menjadi
santapan Baginda hari ini,” kata Aji Saka.
Betapa senangnya hati sang Prabu mendapat tawaran makanan. Dengan tidak sabar,
ia segera memerintahkan Patih Jugul untuk menangkap dan memotong-motong tubuh
Aji Saka untuk dimasak. Ketika Patih Jugul akan menangkapnya, Aji Saka mundur
selangkah, lalu berkata:
“Ampun, Gusti! Sebelum ditangkap, Hamba ada satu permintaan. Hamba mohon
imbalan sebidang tanah seluas serban hamba ini,” pinta Aji Saka sambil
menunjukkan sorban yang dikenakannya.
Permintaan itu dikabulkan oleh Sang Prabu. Ajisaka kemudian meminta Prabu
Dewata Cengkar menarik salah satu ujung sorbannya. Ajaibnya, sorban itu setiap
diulur, terus memanjang dan meluas hingga meliputi seluruh wilayah Kerajaan
Medang Kamulan. Karena saking senangnya mendapat mangsa yang masih muda dan
segar, sang Prabu terus mengulur serban itu sampai di pantai Laut Selatan.
Kemudian Ajisaka mengibaska sorban tersebut, hal ini membuat Prabu
Dewatacengkar terlempar ke laut. Wujud Prabu Dewata Cengkar lalu berubah
menjadi buaya putih.
Mengetahui kabar tersebut, seluruh rakyat Medang Kamulan kembali dari tempat
pengungsian mereka. Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi Raja Medang Kamulan
menggantikan Prabu Dewata Cengkar dengan gelar Prabu Anom Aji Saka.
Setelah beberapa hari, Ajisaka menyuruh Dora pergi ke Pulau Majethi untuk ngambil
keris pusaka yang dijaga oleh Sembada.
“Dora! Pergilah ke Pegunungan Kendeng untuk mengambil keris pusakaku. Katakan
kepada Sembada bahwa aku yang menyuruhmu,” kata Ajisaka.
“Baik Tuanku!” jawab Dora seraya pamitan
Setelah berhari-hari berjalan, sampailah Dora di Pegunungan Gendeng. Ketika
kedua sahabat tersebut bertemu, mereka saling rangkul untuk melepas rasa rindu.
Setelah itu, Dora pun menyampaikan maksud kedatangannya kepada Sembada.
“Sembada, sahabatku! Kini Tuan Ajisaka telah menjadi raja Negeri Medang
Kamulan. Beliau mengutusku kemari untuk mengambil keris pusakanya untuk dibawa
ke istana,” ungkap Dora.
“Tidak, sabahatku! Tuan Ajisaka berpesan kepadaku bahwa keris ini tidak boleh
diberikan kepada siapa pun, kecuali beliau sendiri yang datang mengambilnya,”
kata Sembada dengan tegas.
Sembada yang patuh pada pesan Ajisaka tidak memberikan keris pusaka itu ke
Dora. Dora tetap memaksa agar pusaka itu segera diserahkan. Akhirnya keduanya
bertarung tanpa ada yang mau mengalah. Mereka bersikeras mempertahankan
tanggungjawab masing-masing dari Aji Saka. Mereka bertekad lebih baik mati
daripada mengkhianati perintah tuannya. Akhirnya, terjadilah pertarungan sengit
antara kedua orang bersahabat tersebut. Namun karena mereka memiliki ilmu yang sama
kuat dan tangguhnya, sehingga mereka pun mati bersama.
Sementara itu, Aji Saka sudah mulai gelisah menunggu kedatangan Dora dari
Pegunung Gendeng.
“Apa yang terjadi dengan Dora ya..? Kenapa sampai saat ini dia belum juga
kembali?” gumam Aji Saka.
Berhari-hari Aji Saka menunggu, namun Dora tak kunjung datang. Akhirnya, Ajisaka
menyusul ke Pegunungan Gendeng seorang
diri. Betapa terkejutnya ia saat tiba di sana. Ia mendapati kedua pengikut
setianya Dora dan Sembada sudah tewas. Mereka tewas karena ingin membuktikan
kesetiaannya kepada tuan mereka. Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya
tersebut, Aji Saka menciptakan aksara Jawa atau dikenal dengan istilah
dhentawyanjana yang bunyinya :
Agar lebih lengkap maka aksara jawa di beri harokat(istilah
dalam huruf arap), nah pelengkapnya seperti ini :
Begitulah asal muasal huruf jawa, dari cerita tersebut
seorang pemimpin harus hati-hati dalam berbicara, salah bicara bisa-bisa yang
jadi korban adalah rakyatnya…